KA'BAH SEBAGAI SIMBOL IBADAH UNTUK MENGINGAT ALLAH
Allah menciptakan ka’bah sebagai simbol ibadah untuk mengingat-Nya, namun ka’bah sesungguhnya bukanlah Tuhan yang bisa disembah, justru Sang Pemilik ka’bah itulah yang harus disembah, kita tidak memuliakan bangunan yang terbuat dari batu tersebut, oleh karenanya saat thawaf ka’bah diposisikan disebelah kiri kita dan bukan disebelah kananan.
Setiap orang yang berhaji maupun umrah mengelilingi ka’bah sebayak 7 putaran, mengitarinya 7 putaran adalah lambang dari perjalanan hidup manusia selama di dunia dan ka’bah sebagai simbol Tuhan selalu berada di dekat mereka, sebuah i’tibar dalam hidup ini manusia tidak bisa menghindar dari pengetahuan Allah SWT, sebagaimana saat thawaf kita tidak lepas dari melihat dan dilihat oleh ka’bah al-musyarrafah, hal ini merupakan esensi dari rangkaian ibadah yang setiap saat dilakukan oleh semua hamba-hamba Allah, Rasulullah SAW pernah menegaskan ”sembahlah Tuhanmu seolah-olah engkau melihat-Nya, jika tidak yakinlah bahwa Dia melihatmu”!.
Saripati thawaf melahirkan paradigma baru bagi para jamaah haji bahwa dimanapun, kapanpun, Tuhan selalu melihat perbuatan setiap manusia, seyogyanyalah orang yang sudah melakukan thawaf akan terpelihara disisi Allah dari sifat-sifat yang tercela.
Ritual ibadah haji bermula dari Nabi Ibrahim as ketika hijrah bersama siti hajar dan Nabi Ismail A.S, sejarah peradaban dan kebanggaan umat islam dimulai, rangkaian peristiwa yang menimpa Nabi Ibrahim sebagai serentetan ujian dari Allah SWT, didalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji hal tersebut diulangi satu-persatu sebagai sebuah ritus dengan makna yang sama bagi umat sesudahnya.
Jika dahulu Nabi Ibrahim berdiri dan berdo’a kepada Allah ketika ia membangun ka’bah maka kini para jamaah haji dan umrah melakukan hal yang sama ditempat yang sama saat berdiri didepan multazam sejajar dengan pintu ka’bah, itu perlambang bahwa saat itu seorang hamba disuruh untuk menatap lurus kepada Tuhan lalu melakukan janji untuk berserah diri kepada-Nya, “ilahii anta maqshudii waridhaka mathluubii “ Tuhanku Engkaulah tujuan perjalananku, dan ridha-Mu menjadi harapanku”, lihat alquran surat al-Baqrah 2:12. Jika dahulu Siti Hajar berlari-lari di antara bukit Shafa dan Marwa, maka kini para jamaah haji dan umrah juga melakukan hal yang sama, demikian pula selanjutnya. Ritual haji sarat dengan histori spiritual yang jika kita mengetahui hikmah dan filosofinya insyaallah kita akan mampu membuat sebuah revolusi diri dalam prilaku hidup kita sehari-hari.
Sejarah tentang ka’bah tercatat dalam ayat al-qur’an surat al-Baqarah, 2 : 124-125 dan surat Ali-Imran, 3 : 96. Setelah nabi Ibrahim dan keluarganya berhasil melewati sederetan ujian yang panjang dari Tuhan Maka dibangunlah rumah Allah yang pertama kali di bumi Makkah di atas sebuah lembah pebukitan yang gersang, kosong, panas da ntandus.Lalu dibangunlah d isekitarnya rumah Siti Hajar dan mulailah orang-orang berdatangan, lembah sekitar ka’bah pun menjadi tempat persinggahan bagi para kelompok orang-orang yang bepergian, karena tempat ini disamping srategis ia memiliki air zam-zam yang memberikan kebutuhan pada para musafir waktu itu sebelum melanjutkan perjalanan.
Allah SWT telah memilih ka’bah sebagai rumah-Nya (makna lahiriah) yang kini semua umat Islam menghadapkan wajahnya kehadap Baitullah tersebut, lalu dimanakah sebenarnya rumah bathiniah Allah? kemanakan kita upayakan diri ini untuk berjalan menuju-Nya? Di dalam alkisah suatu hadis kudsi Allah yang Maha Suci berfirman“ Wahai Manusia! Telah Aku ciptakan syurga sebagai rumahmu nanti namun sebelum engkau memasukinya aku mengusir syetan dari syurga-Ku.Tempatku di alam duniamu adalah hati mu sendiri, maka sudahkah engkau bersihkan hatimu dari syetan sehingga Aku bisa masuk ke dalamnya ? tempatku tidak akan mencukup langit dan bumi, tetapi aku bisa masuk ke dalam kalbu seorang muslim yang berserah diri kepada-Ku.
Dari kutipan hadis kudsi di atas dapat disimpulkan bahwa rumah bathiniah Allah terletak pada kedalaman hati kita, sebagaimana ka’bah yang diririkan oleh kedua orang suci, dibangun di atas tanah suci dan ditegakkan sebagai symbol untuk mengingat Allah SWT yang MahaSuci, maka demikian pula hati kita diciptakan untuk mengingat Allah SWT yang suci, jika hati telah dipenuhi hal-hal lain selain Allah SWT maka yang akan teringat setiap saat adala hhal-hal lain pula selain Allah SWT, jika hati dimuat dengan duniawi semata maka yang akan selalu teringat adalah duniawi pula sekalipun yang si pemilik hati itu sedang berada di atas sajadah saat i ashalat, atau pun berada di sekitar ka’bah sedang mengelilingi ka’bah, namun hatinya yang penuh dengan keduniawian akan mengingat selain Allah SWT. (rul)
Disadur oleh :
Damin-Kecilamass
Pekayon- Cibubur Jakarta-Timur