Ibu adalah orang yang paling layak untuk mendapatkan
perlakuan yang paling baik. Kedudukan ibu lebih utama.
Kita sudah memahami bersama mengenai wajibnya dan
pentingnya berbakti kepada kedua orang tua1.
Kemudian setelah itu, ketahuilah bahwa jika kita melihat dalil-dalil, kita
temukan bahwa kedudukan ibu lebih utama.
Dalil-dalil mengenai lebih utamanya kedudukan ibu
Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut:
Dalil 1
Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu,
beliau bertanya kepada Nabi:
يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال :
أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال :
أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku
perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab:
Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab:
ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari
dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).
Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India, mengomentari
hadits ini: “ibu lebih diutamakan daripada ayah secara ijma dalam perbuatan
baik, karena dalam hadits ini bagi ibu ada 3x kali bagian dari yang didapatkan
ayah. Hal ini karena kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil, bahkan
terkadang ia bisa meninggal ketika itu. Dan penderitaannya tidak berkurang
ketika ia melahirkan. Kemudian cobaan yang ia alami mulai dari masa menyusui
hingga anaknya besar dan bisa mengurus diri sendiri. Ini hanya dirasakan oleh
ibu” 2.
Al Harits Al Muhasibi juga menukil ijma’ bahwa
kedudukan ibu lebih utama dari ayah. Walaupun ada sebagian ulama yang menukil
adanya khilaf dalam hal ini. Yaitu sebagian ulama mengatakan kedudukan
ayah dan ibu sama, dan ini disandarkan kepada pendapat Imam Malik. Namun insya
Allah yang tepat adalah klaim ijma’ karena tegasnya dalil-dalil
yang menunjukkan hal tersebut 3.
Dalil 2
Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiallahu’ahu,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
نَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا،
إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ
“sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian
untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada
kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat
kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang
dekat” (HR. Ibnu Majah, shahih dengan syawahid-nya).
Dalil 3
Dari Atha bin Yassar, ia berkata:
عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ
: إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ،
فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ
: لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ،
فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا
أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang
kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang
wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang
melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku pun cemburu dan
membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas
menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah
meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah
dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku
(Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang
ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang
paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al
Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih).
Dan telah dikenal bahwa metode Ibnu Abbas jika dimintai
fatwa mengenai kafarah dosa, beliau akan menyarankan dengan amalan
yang pahalanya benar-benar seimbang dosa tersebut atau lebih besar pahalanya
dari dosa yang ditanyakan, hingga dosa tersebut hilang sama sekali. Selama
tidak ada nash khusus mengenai kafarah dosa yang
ditanyakan 4.
Dan ini menunjukkan bahwa pahala berbakti kepada orang tua terutama kepada
ibu itu sangat besar hingga seimbang dan menjadi kafarah dosa
membunuh tanpa hak atau bahkan melebihinya sehingga dosa tersebut hilang sama
sekali.
Dalil 4
Mengenai kisah Uwais Al Qorni yang sampai-sampai
sahabat Nabi sekelas Umar bin Khathab radhiallahu’anhu dan
yang lainnya dianjurkan oleh RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam untuk
menemui Uwais. Hal ini disebabkan begitu hebatnya birrul walidain Uwais
terhadap ibunya. Nabi bersabda:
إن خيرَ
التابعين رجلٌ يقالُ له أويسٌ . وله والدةٌ . وكان به بياضٌ . فمروه فليستغفرْ لكم
“sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang
lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di
tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk
kalian” (HR. Muslim).
Dalil 5
Hadits panjang yang dikeluarkan Imam Muslim
dalam Shahih-nya mengenai kisah Juraij. Yang intinya ketika Juraij
dipanggil oleh ibunya sedangkan ia sedang shalat, Juraij lebih mementingkan
shalatnya dan tidak memenuhi panggilan ibunya. Akhirnya ibunya mendoakan
keburukan padanya dan terkabul.
Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan:
“Para ulama mengatakan: ‘ini dalil bahwa yang benar adalah memenuhi panggilan
ibu, karena Juraij sedang melakukan shalat sunnah. Terus melanjutkan shalat
hukumnya sunnah, tidak wajib. Sedangkan menjawab panggilan ibu dan berbuat baik
padanya itu wajib, dan mendurhakainya itu haram'”.
Kesimpulannya, dari dalil-dalil ini, para ulama
mengatakan:
الأم أحق الناس بحسن الصحبة
“Ibu adalah orang yang paling layak untuk
mendapatkan perlakuan yang paling baik”
Pertanyaan: jika opini ibu bertentangan dengan opini ayah, maka siapa yang
diambil opininya?
Jika ayah dan ibu memberikan opini kepada
anak dan opini mereka saling bertentangan, maka opini siapa yang
diambil? Dijawab Syaikh Musthofa Al ‘Adawi: “Yang diambil opininya adalah
yang lebih sesuai dengan kebenaran dan lebih dekat kepada ketaqwaan dan ihsan.
Adapun jika tidak bisa dibedakan mana opini yang lebih shahih, maka jika
perkaranya terkait dengan sikap atau perlakuan baik, maka ibu didahulukan.
Adapun jika perkaranya terkait dengan hal umum yang memang bidangnya para
lelaki maka opini ayah didahulukan. Wallahu a’lam” 5.
Pertanyaan: jika ayah dan ibu saling berselisih, apa yang semestinya
dilakukan anak?
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan: “jika anak
mendapati ayah dan ibu saling berselisih, maka wajib baginya untuk mendamaikan
keduanya dengan cara yang baik, karena perdamaian itu lebih baik. Dan hendaknya
tidak membela salah satunya dengan tangan atau dengan lisan. Yang benar adalah
mendamaikannya dengan baik. Allah Ta’ala berfirman:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Semoga
Allah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua agar menjadi insan yang berbakti
dengan sungguh-sungguh kepada orang tua. Wabillahi at taufiiq was
sadaad.
Kecilamass ,Pekayon-Pasar Rebo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar