Dalam pertemuan antara Hyang Guru,
Narada, dan Endra Brama,
berkatalah Hyang Guru kepada Brama,” Kamu jadilah besan dengan Wisnu adikmu. Brama mempunyai anak laki-laki, Wisnu mempunyai anak perempuan.”
Brama menjawab, “Ya”.
Hyang Guru berkata kepada Narada, “Kamu yang memberi perintah kepada Wisnu, Brama yang ikut.” Lalu mereka berangkat ke Ngutara Sagara. Beralih ke Mendangkumuwung, Maharaja Pulagra mengirim utusan ke Ngutara Sagara, yang diutus Kalagatu dan Kalagatuka dengan diberi surat pelamar. Di istana Ngutara Sagara, Batara Wisnu dan putranya Raden Srigati datang bercengkerama lalu datanglah berita utusan dari Mendang kumuwung datang berkunjung dengan membawa surat lamaran. Batara Wisnu sudah mengetahui maksudnya, lalu memerintahkan Raden Segati untuk menyambut tamu tersebut, katanya,” Srigati, turunlah, suruh pulang utusan itu!”
Setelah putranya pergi, datanglah Narada dan Brama. Setelah saling bertegur sapa, Narada lalu berkata,” Saya membawa perintah dari Hyang Guru. Kamu disuruh berbesanan dengan kakakmu di Brama, anakmu Sri Unon kawin dengan Bremana.”
Wisnu menjawab,” Ya saya patuhi.”
Narada berkata,” Apa Karingkes atau Karowo?”
Wisnu menjawab,” Saya singkat saja, tapi saya akan bujuk saja acara panggihnya.”
Hyang Narada berkata kepada Batara Brama,” Brama sudah pulanglah! Anakmu si Bremana, ajaklah kemari.”
Lalu berangkatlah Brama. Sementara itu, raksasa utusan Maharaja Pulagra, Kalagatu dan Kalagatuka, menunggu-nunggu bagaimana jawaban surat lamaran. Tidak berapa lama datanglah Raden Segati.
Ia berkata,” kamu tidak diperkenankan menghadap, diperintahkan untuk pulang saja dari sini.” Lalu duta tersebut bersikeras menghadap. Terjadilah perkelahian dimana Segati akhirnya kalah. Lalu Srigati membuat surat jawaban kepada duta tersebut.
“Surat ini berikan kepada Rajamu.”
Semoga kehendak Kanjeng Rama sudah ada di surat ini,” kata Srigati.
Konon cerita, gara-gara gejolak Samodra Gambiralaya, seperti gemuruhnya kawah Candradimuka, gonjang-ganjing ekornya Sang Antaboga gempa tujuh kali sehari. Mletuk Keragalah, mengakak suaranya, Hyang Antaboga lalu Semar Petruk, Nalagareng, setelah kelakar lalu menghadapi satwa yang diasuhnya. Adalah Bambang Bremani, di pertapaan Saptarengga lalu,berkunjung ke Gilingwesi melalui udara. Semar, Petruk, Nalagareng terbang mengikuti, setelah itu bergurau di Gilingwesi, Raden Bremana dan Bremani sudah ada di istana.
Dalam percakapan tersebut datanglah ayahanda Batara Brama yang lalu duduk di Singgasana. Raden Bremana dan Bremani datang menghaturkan sembah. Kata Batara Brama kepada kedua puteranya,
” Kamu diperintahkan untuk kawin oleh Batara Guru dengan puteri Betara Wisnu bernama Sri Unon.”
Bremana mengatakan tidak mau, meskipun Batara Brama berkali-kali memintanya dengan memaksa, namun Bremana bersikukuh tidak mau dan menyarankan adiknya Bremani menikah.
Lalu Batara Brama berkata,” Kamu Bremani, kawinlah. Itu atas permintaan kakakmu.”
“Saya takut kalau melangkahi kakanda,” jawab Bremani.
“Saya ikhlas kamu melangkahi aku,” kata Bremana.
Sementara itu, di istana Ngutara Sagara, Raden Srigati menghadap ayahnya Batara Wisnu dan menyampaikan kekalahannya berperang dengan utusan.
“Duta saya datangi lalu saya suruh pulang tapi tidak mau. Sehingga akhirnya terjadi perang. Saya kalah. Lalu saya membuat surat jawaban yang dapat meredakan amarah, sekarang persoalan ini saya serahkan Kanjeng Rama.”
Setelah mendengar laporan Raden Srigati, Hyang Wisnu menjadi susah hatinya. Tidak berapa lama datanglah kakaknya Batara Brama dan Batara Narada.
Mana anakmu, si Bremana?” tanya Batara Narada kepada Batara Brama.
“Mohon maaf, cucunda yang tua tidak mau kawin, cucunda yang muda mau. Saya serahkan kepada Batara Narada,” jawab Batara Brama.
“Aku tidak kuasa menentukan, sekarang terserah Wisnu yang punya anak.
Sekarang bagaimana?”balas Batara Narada.
“Iya saya terima tetapi saya membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh Raja di Mendangkumuwung, Si Pulagra, itu yang menjadi menantuku,” kata Batara Wisnu.
“Iya, Adi, saya tanyakan Bremani kalau mau?” kata Batara Brama yang lalu memanggil anaknya Bremani. Bremani menyanggupi lalu minta izin menjalankan sayembara diiringi Semar, petruk dan Gareng.
Di Mendangkumuwung, Raja Pulagra sedang berdialog dengan patih raksasa, yaitu Kalasiya, Kaladaru, Kalasrana serta Kalapeksa. Dengan harap cemas mereka mendengarkna hasil utusan Kalagatu dan Kalagatuka. Perjalanan saya berdua sampai di Ngutara Sagara, namun dihentikan Raden Segati. Saya tidak mau, harus masuk kraton lalu terjadi perang, tidak berapa lama Srigati kalah lalu saya mendapat surat jawaban atas nama Raja Ngutara Sagara. Ini isi suratnya.”
Surat diterima Sang Pulagra lalu dibaca setelah dibaca tertawalah Raja Pulagra. “Aneh betul permintaan para Dewa, tidak mau dibeli dengan mas picis, harus dibeli dengan perang, makanya kamu diterima dengan perang,” kata Sang Pulagra.
“Sekarang ini sudah tidak ada apa-apa. Besok di hari Buda Cemengan, saya diminta datang dengan prajurit. Sekarang Buda paing, setiap buda ini adalah hari arak-arakan. Sekarang kamu menanggap tayub, tandak, buatlah gunungan, gunungan madat, gunungan apyun, serta gunung keling, gunung cupu, gunung kepet, dan gunung alas-alasan. Berilah lutung beneran, besok hari Buda Wisa harus sudah jadi,” perintah Sang Pulagra.
Kemudian mereka bubar dan masuk ke dalam Kraton Pulagra. Tidak lama kemudian Raden Bremani datang ke istana Sang Pulagra. Mereka bertemu membuat Pulagra terkejut dan bertanya,” Kamu siapa? Berani datang kemari tanpa diundang?”
“Aku ini dewa utusan Hyang Wisnu?” jawab Bremani.
“Diutus apa? Apa disuruh mempercepat kedatanganku?” tanya Pulagra.
“Saya kemari diutus meminta kepalamu,” jawab Bremani.
Raja Pulagra marah besar. Lalu menubruk Bremani namun tidak kena karena hanya menubruk bayangannya saja. Pulagra memanah namun dengan sigap Bremani mengambil panah penalak lalu lenyaplah panah Pulagra. Pulagra melempar senjata Kunta, Raden Bremani menolaknya. Pulagra memegang muksala juga sirna lalu setelah habis senjatanya, Raden Bremani membalas dengan panah Sarutama dan mengenai dada Pulagra hingga tewas. Raden Bremani lalu mengiris telinga kanan Pulagra dan pergi bersama punakawan.
Seperginya mereka, para nyai raksasa menangis melihat gustinya mati. Di luar raksasa yang baru bersenang-senang menari tayub dikagetkan dengan datangnya para nyai raksasa yang menangislalu melaporkan kepada Patih Pulasiya. Para raksasa yang sedang bersenang-senang lantas hening mendengar kematian rajanya. Pulasiya marah dan segera menghimpun prajurit dengan membawa segala alat perangnya.
Dengan diiringi bunyi-bunyian perang lalu bergerak menuju Ngutara Sagara. Didepan raksasa Kaladaru beserta prajuritnya. Kalasara dengan bergadanya, Kalajeksa, Kalagatu, Patih Pulasiya dan Raden Pulasiya menaiki gajah. Di asrama, Batara Wisnu, Narada, Brama, Srigati menerima kedatangan Raden Bremani yang menyerahkan telinga kiri Pulagra sebagai bukti telah mengalahkannya. Hyang Wisnu menerimanya. Setelah itu dikawinkanlah Bremani dengan Dewi Sri Unon hari itu juga.
Setelah sepekan lalu mereka pulang ke istana Hyang Brama dimana saat itu Dewi Sri Unon sedang mengidam. Setelah Srigati mengantarkan saudaranya, lalu singgah di istana Gilingwesi bertemu dengan Raden Bremana dengan patihnya Raden Ekapramana.
Dalam percakapan mereka, datanglah Hyang Brama kemudian duduk bersila. Lalu Raden Bremani dan istrinya memberi salam dan menyembah kakaknya,.Raden Bremana. Setelah acara penghormatan selesai, Hyang Brama dan Srigati pulang, sedang Raden Bremani masih tinggal. Raden Bremana terkesima melihat kecantikan Dewi Sri Unon dan merasa menyesal. “Kalau tau Dewi Sri Unon seperti itu, tentu tidak rela aku menyerahkan pada adikku,” kata Bremana dalam hatinya.
Raden Bremani tahu isi hati kakaknya, Raden Bremana. Setelah sepekan, Raden Bremani, Dewi Sri Unon dan punakawan minta diri ke Gunung Saptarengga. Setelah sembilan bulan, lahirlah anak laki-laki. Ketika bayinya berumur 40 hari, istinya, Dewi Sri Unon dicerainya.
“Salah saya apa?” tanya Dewi Sri Unon.
“Kamu tidak salah.
Saya hanya menjalankan perintah dewa hanya menurunkan satu anak, tidak boleh dua,” kata Bremani.
Dewi Sri Unon pasrah. Jabang bayi dibawanya lalu singgah di Gilingwesi. Raden Bremana di Gilingwesi kedatangan adiknya, Raden Bremani.
Setelah bersalaman Raden Bremani berkata, “Istriku sudah melahirkan anak lelaki tetapi belum saya beri nama. Dewi Sri Unon sudah saya cerai dan akan saya kembalikan ke Ngutara Sagara.
“Ya, Adi. Saya ikut mengantarkannya,” kata Bremana.
Lalu mereka berangkat. Singkat cerita. Batara Wisnu dan Raden Srigati mengerti kalau sedang didatangi para raksasa dari Mendangkumuwung yang membela rajanya yang mati terbunuh. Mereka dipimpin Raden Pulasira dan para prajuritnya.
Tidak berapa lama datanglah Raden Bremani dengan rombongannya, Di hadapan ayahnya, Dewi Sri Unon bersembah dan pingsan dipangkuannya lalu dibawa masuk ke istana.
“Ini ada apa? Mengapa kamu datang dengan kakakmu Bremana,” tanya Batara Wisnu kepada Bremani.
“Saya menghadap Hyang Wisnu mau menyerahkan kembali Dewi Sri Unon.
Sudah saya ceraikan sebab saya tidak boleh mempunyai anak lebih dari satu,” terang Bremani.
“Baiklah,”kata Batara Wisnu.
“Saran saya, kalau boleh Dewi Sri Unon dikawinkan dengan kakah saya Bremana,” kata Bremani.
“Baiklah, tetapi dengan satu permintaan. Kalau kakakmu dapat membasmi para raksasa dari Mendungkumuwung dengan para prajurit.
Lalu Bremana dan Bremani berembug.”Iya, Adi. Saya sanggup.
Katakanlah kepada Hyang Wisnu. Raden Bremani berkata kepada Hyang Wisnu,” Ya, Sanggup.” Raden Bremana kemudian berperang dengan Kalasarana. Kalasarana lenyap bersama-sama prajuritnya setelah dipanah Bremana. Lalu Kaladaru datang dan dihadang Bremani dengan senjata Prabawa. Lenyaplah Kaladaru bersama pasukannya. Kalagatuka yang berhadapan dengan Bremana lenyap bersama pasukannya setelah terkena senjata Prabowo Bremana.
Berikutnya Kalayaksa sirna setelah dipanah dengan senjata Naraca Bala oleh Bremana. Patih Raksasa Pulasta menghadapi Raden Bremani. Pulasta memanah dengan senjata Kunta. Bremani memanah penolaknya hingga senjata Pulasta lenyap. Bremani memanah dengan panah air Bramastra maka hilanglah panah Pulasta. Bremani lalu memanah dengan rantai kepala Naga. Pulasta terikat rantai,
Pulasta berupaya melepaskan diri tetapi rantainya semakin mengecil sehinggi Pulasta terpedaya.
“Kamu mau hidup apa mati?” tanya Bremani.
“Saya minta hidup. Saya sudah takluk,” kata Pulasta.
“Ya saya terima taklukmu. Tetapi kamu harus pergi dari Medangkumuwung.
Kamu saya beri tanah di Lokapala serta kamu bersemedi disana,” perintah Bremani.
Pulasta menurut. Lalu pamit. Bremana dan Bremani lalu pulang ke Ngutara Sagara. Mereka menyampaikan kepada Wisnu, musuh sudah sirna. Lalu Bremana dikawinkan dengan Dewi Sri Unon. Setelah sepekan Bremana memanggil Bremani.
Tanah Jawa saya serahkan padamu. Aku akan bertempat tinggal di atas angin,” kata Bremana. Bremana beserta istri, Bremani dan punakawan kemudian bertamu kepada Batara Wisnu. “ketahuilah, saya akan berdiam diri diatas angin dan tanah Jawa saya serahkan kepada adik saya,” kata Bremana.
“Ya. Saya setuju,” kata Wisnu.
Kemudian Bremana berkata kepada adiknya, Bremani,” Sudahlah, Adi, yang pandai-pandai saja mengurus negara. Saya pinjam tiga pusakamu, Sarotama, Arya Sengkali dan Roda Dedali.” Bremani tidak keberatan untuk menyerahkan ketiga pusaka tersebut kepada kakaknya.
Bremana lalu pamit serta minta restu kepada ayahnya. Lalu berangkat bersama istrinya. Anaknya diserahkan kepada Raden Bremani. Bremani berkata kepada ayahnya,”Ayah, tolonglah beri nama cucumu ini.”
Hyang Wisnu melihat cucunya kemudian memberi nama Bambang Parikenan. Setelah itu Hyang Wisnu pamit pulang ke Gunung Saptarengga
berkatalah Hyang Guru kepada Brama,” Kamu jadilah besan dengan Wisnu adikmu. Brama mempunyai anak laki-laki, Wisnu mempunyai anak perempuan.”
Brama menjawab, “Ya”.
Hyang Guru berkata kepada Narada, “Kamu yang memberi perintah kepada Wisnu, Brama yang ikut.” Lalu mereka berangkat ke Ngutara Sagara. Beralih ke Mendangkumuwung, Maharaja Pulagra mengirim utusan ke Ngutara Sagara, yang diutus Kalagatu dan Kalagatuka dengan diberi surat pelamar. Di istana Ngutara Sagara, Batara Wisnu dan putranya Raden Srigati datang bercengkerama lalu datanglah berita utusan dari Mendang kumuwung datang berkunjung dengan membawa surat lamaran. Batara Wisnu sudah mengetahui maksudnya, lalu memerintahkan Raden Segati untuk menyambut tamu tersebut, katanya,” Srigati, turunlah, suruh pulang utusan itu!”
Setelah putranya pergi, datanglah Narada dan Brama. Setelah saling bertegur sapa, Narada lalu berkata,” Saya membawa perintah dari Hyang Guru. Kamu disuruh berbesanan dengan kakakmu di Brama, anakmu Sri Unon kawin dengan Bremana.”
Wisnu menjawab,” Ya saya patuhi.”
Narada berkata,” Apa Karingkes atau Karowo?”
Wisnu menjawab,” Saya singkat saja, tapi saya akan bujuk saja acara panggihnya.”
Hyang Narada berkata kepada Batara Brama,” Brama sudah pulanglah! Anakmu si Bremana, ajaklah kemari.”
Lalu berangkatlah Brama. Sementara itu, raksasa utusan Maharaja Pulagra, Kalagatu dan Kalagatuka, menunggu-nunggu bagaimana jawaban surat lamaran. Tidak berapa lama datanglah Raden Segati.
Ia berkata,” kamu tidak diperkenankan menghadap, diperintahkan untuk pulang saja dari sini.” Lalu duta tersebut bersikeras menghadap. Terjadilah perkelahian dimana Segati akhirnya kalah. Lalu Srigati membuat surat jawaban kepada duta tersebut.
“Surat ini berikan kepada Rajamu.”
Semoga kehendak Kanjeng Rama sudah ada di surat ini,” kata Srigati.
Konon cerita, gara-gara gejolak Samodra Gambiralaya, seperti gemuruhnya kawah Candradimuka, gonjang-ganjing ekornya Sang Antaboga gempa tujuh kali sehari. Mletuk Keragalah, mengakak suaranya, Hyang Antaboga lalu Semar Petruk, Nalagareng, setelah kelakar lalu menghadapi satwa yang diasuhnya. Adalah Bambang Bremani, di pertapaan Saptarengga lalu,berkunjung ke Gilingwesi melalui udara. Semar, Petruk, Nalagareng terbang mengikuti, setelah itu bergurau di Gilingwesi, Raden Bremana dan Bremani sudah ada di istana.
Dalam percakapan tersebut datanglah ayahanda Batara Brama yang lalu duduk di Singgasana. Raden Bremana dan Bremani datang menghaturkan sembah. Kata Batara Brama kepada kedua puteranya,
” Kamu diperintahkan untuk kawin oleh Batara Guru dengan puteri Betara Wisnu bernama Sri Unon.”
Bremana mengatakan tidak mau, meskipun Batara Brama berkali-kali memintanya dengan memaksa, namun Bremana bersikukuh tidak mau dan menyarankan adiknya Bremani menikah.
Lalu Batara Brama berkata,” Kamu Bremani, kawinlah. Itu atas permintaan kakakmu.”
“Saya takut kalau melangkahi kakanda,” jawab Bremani.
“Saya ikhlas kamu melangkahi aku,” kata Bremana.
Sementara itu, di istana Ngutara Sagara, Raden Srigati menghadap ayahnya Batara Wisnu dan menyampaikan kekalahannya berperang dengan utusan.
“Duta saya datangi lalu saya suruh pulang tapi tidak mau. Sehingga akhirnya terjadi perang. Saya kalah. Lalu saya membuat surat jawaban yang dapat meredakan amarah, sekarang persoalan ini saya serahkan Kanjeng Rama.”
Setelah mendengar laporan Raden Srigati, Hyang Wisnu menjadi susah hatinya. Tidak berapa lama datanglah kakaknya Batara Brama dan Batara Narada.
Mana anakmu, si Bremana?” tanya Batara Narada kepada Batara Brama.
“Mohon maaf, cucunda yang tua tidak mau kawin, cucunda yang muda mau. Saya serahkan kepada Batara Narada,” jawab Batara Brama.
“Aku tidak kuasa menentukan, sekarang terserah Wisnu yang punya anak.
Sekarang bagaimana?”balas Batara Narada.
“Iya saya terima tetapi saya membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh Raja di Mendangkumuwung, Si Pulagra, itu yang menjadi menantuku,” kata Batara Wisnu.
“Iya, Adi, saya tanyakan Bremani kalau mau?” kata Batara Brama yang lalu memanggil anaknya Bremani. Bremani menyanggupi lalu minta izin menjalankan sayembara diiringi Semar, petruk dan Gareng.
Di Mendangkumuwung, Raja Pulagra sedang berdialog dengan patih raksasa, yaitu Kalasiya, Kaladaru, Kalasrana serta Kalapeksa. Dengan harap cemas mereka mendengarkna hasil utusan Kalagatu dan Kalagatuka. Perjalanan saya berdua sampai di Ngutara Sagara, namun dihentikan Raden Segati. Saya tidak mau, harus masuk kraton lalu terjadi perang, tidak berapa lama Srigati kalah lalu saya mendapat surat jawaban atas nama Raja Ngutara Sagara. Ini isi suratnya.”
Surat diterima Sang Pulagra lalu dibaca setelah dibaca tertawalah Raja Pulagra. “Aneh betul permintaan para Dewa, tidak mau dibeli dengan mas picis, harus dibeli dengan perang, makanya kamu diterima dengan perang,” kata Sang Pulagra.
“Sekarang ini sudah tidak ada apa-apa. Besok di hari Buda Cemengan, saya diminta datang dengan prajurit. Sekarang Buda paing, setiap buda ini adalah hari arak-arakan. Sekarang kamu menanggap tayub, tandak, buatlah gunungan, gunungan madat, gunungan apyun, serta gunung keling, gunung cupu, gunung kepet, dan gunung alas-alasan. Berilah lutung beneran, besok hari Buda Wisa harus sudah jadi,” perintah Sang Pulagra.
Kemudian mereka bubar dan masuk ke dalam Kraton Pulagra. Tidak lama kemudian Raden Bremani datang ke istana Sang Pulagra. Mereka bertemu membuat Pulagra terkejut dan bertanya,” Kamu siapa? Berani datang kemari tanpa diundang?”
“Aku ini dewa utusan Hyang Wisnu?” jawab Bremani.
“Diutus apa? Apa disuruh mempercepat kedatanganku?” tanya Pulagra.
“Saya kemari diutus meminta kepalamu,” jawab Bremani.
Raja Pulagra marah besar. Lalu menubruk Bremani namun tidak kena karena hanya menubruk bayangannya saja. Pulagra memanah namun dengan sigap Bremani mengambil panah penalak lalu lenyaplah panah Pulagra. Pulagra melempar senjata Kunta, Raden Bremani menolaknya. Pulagra memegang muksala juga sirna lalu setelah habis senjatanya, Raden Bremani membalas dengan panah Sarutama dan mengenai dada Pulagra hingga tewas. Raden Bremani lalu mengiris telinga kanan Pulagra dan pergi bersama punakawan.
Seperginya mereka, para nyai raksasa menangis melihat gustinya mati. Di luar raksasa yang baru bersenang-senang menari tayub dikagetkan dengan datangnya para nyai raksasa yang menangislalu melaporkan kepada Patih Pulasiya. Para raksasa yang sedang bersenang-senang lantas hening mendengar kematian rajanya. Pulasiya marah dan segera menghimpun prajurit dengan membawa segala alat perangnya.
Dengan diiringi bunyi-bunyian perang lalu bergerak menuju Ngutara Sagara. Didepan raksasa Kaladaru beserta prajuritnya. Kalasara dengan bergadanya, Kalajeksa, Kalagatu, Patih Pulasiya dan Raden Pulasiya menaiki gajah. Di asrama, Batara Wisnu, Narada, Brama, Srigati menerima kedatangan Raden Bremani yang menyerahkan telinga kiri Pulagra sebagai bukti telah mengalahkannya. Hyang Wisnu menerimanya. Setelah itu dikawinkanlah Bremani dengan Dewi Sri Unon hari itu juga.
Setelah sepekan lalu mereka pulang ke istana Hyang Brama dimana saat itu Dewi Sri Unon sedang mengidam. Setelah Srigati mengantarkan saudaranya, lalu singgah di istana Gilingwesi bertemu dengan Raden Bremana dengan patihnya Raden Ekapramana.
Dalam percakapan mereka, datanglah Hyang Brama kemudian duduk bersila. Lalu Raden Bremani dan istrinya memberi salam dan menyembah kakaknya,.Raden Bremana. Setelah acara penghormatan selesai, Hyang Brama dan Srigati pulang, sedang Raden Bremani masih tinggal. Raden Bremana terkesima melihat kecantikan Dewi Sri Unon dan merasa menyesal. “Kalau tau Dewi Sri Unon seperti itu, tentu tidak rela aku menyerahkan pada adikku,” kata Bremana dalam hatinya.
Raden Bremani tahu isi hati kakaknya, Raden Bremana. Setelah sepekan, Raden Bremani, Dewi Sri Unon dan punakawan minta diri ke Gunung Saptarengga. Setelah sembilan bulan, lahirlah anak laki-laki. Ketika bayinya berumur 40 hari, istinya, Dewi Sri Unon dicerainya.
“Salah saya apa?” tanya Dewi Sri Unon.
“Kamu tidak salah.
Saya hanya menjalankan perintah dewa hanya menurunkan satu anak, tidak boleh dua,” kata Bremani.
Dewi Sri Unon pasrah. Jabang bayi dibawanya lalu singgah di Gilingwesi. Raden Bremana di Gilingwesi kedatangan adiknya, Raden Bremani.
Setelah bersalaman Raden Bremani berkata, “Istriku sudah melahirkan anak lelaki tetapi belum saya beri nama. Dewi Sri Unon sudah saya cerai dan akan saya kembalikan ke Ngutara Sagara.
“Ya, Adi. Saya ikut mengantarkannya,” kata Bremana.
Lalu mereka berangkat. Singkat cerita. Batara Wisnu dan Raden Srigati mengerti kalau sedang didatangi para raksasa dari Mendangkumuwung yang membela rajanya yang mati terbunuh. Mereka dipimpin Raden Pulasira dan para prajuritnya.
Tidak berapa lama datanglah Raden Bremani dengan rombongannya, Di hadapan ayahnya, Dewi Sri Unon bersembah dan pingsan dipangkuannya lalu dibawa masuk ke istana.
“Ini ada apa? Mengapa kamu datang dengan kakakmu Bremana,” tanya Batara Wisnu kepada Bremani.
“Saya menghadap Hyang Wisnu mau menyerahkan kembali Dewi Sri Unon.
Sudah saya ceraikan sebab saya tidak boleh mempunyai anak lebih dari satu,” terang Bremani.
“Baiklah,”kata Batara Wisnu.
“Saran saya, kalau boleh Dewi Sri Unon dikawinkan dengan kakah saya Bremana,” kata Bremani.
“Baiklah, tetapi dengan satu permintaan. Kalau kakakmu dapat membasmi para raksasa dari Mendungkumuwung dengan para prajurit.
Lalu Bremana dan Bremani berembug.”Iya, Adi. Saya sanggup.
Katakanlah kepada Hyang Wisnu. Raden Bremani berkata kepada Hyang Wisnu,” Ya, Sanggup.” Raden Bremana kemudian berperang dengan Kalasarana. Kalasarana lenyap bersama-sama prajuritnya setelah dipanah Bremana. Lalu Kaladaru datang dan dihadang Bremani dengan senjata Prabawa. Lenyaplah Kaladaru bersama pasukannya. Kalagatuka yang berhadapan dengan Bremana lenyap bersama pasukannya setelah terkena senjata Prabowo Bremana.
Berikutnya Kalayaksa sirna setelah dipanah dengan senjata Naraca Bala oleh Bremana. Patih Raksasa Pulasta menghadapi Raden Bremani. Pulasta memanah dengan senjata Kunta. Bremani memanah penolaknya hingga senjata Pulasta lenyap. Bremani memanah dengan panah air Bramastra maka hilanglah panah Pulasta. Bremani lalu memanah dengan rantai kepala Naga. Pulasta terikat rantai,
Pulasta berupaya melepaskan diri tetapi rantainya semakin mengecil sehinggi Pulasta terpedaya.
“Kamu mau hidup apa mati?” tanya Bremani.
“Saya minta hidup. Saya sudah takluk,” kata Pulasta.
“Ya saya terima taklukmu. Tetapi kamu harus pergi dari Medangkumuwung.
Kamu saya beri tanah di Lokapala serta kamu bersemedi disana,” perintah Bremani.
Pulasta menurut. Lalu pamit. Bremana dan Bremani lalu pulang ke Ngutara Sagara. Mereka menyampaikan kepada Wisnu, musuh sudah sirna. Lalu Bremana dikawinkan dengan Dewi Sri Unon. Setelah sepekan Bremana memanggil Bremani.
Tanah Jawa saya serahkan padamu. Aku akan bertempat tinggal di atas angin,” kata Bremana. Bremana beserta istri, Bremani dan punakawan kemudian bertamu kepada Batara Wisnu. “ketahuilah, saya akan berdiam diri diatas angin dan tanah Jawa saya serahkan kepada adik saya,” kata Bremana.
“Ya. Saya setuju,” kata Wisnu.
Kemudian Bremana berkata kepada adiknya, Bremani,” Sudahlah, Adi, yang pandai-pandai saja mengurus negara. Saya pinjam tiga pusakamu, Sarotama, Arya Sengkali dan Roda Dedali.” Bremani tidak keberatan untuk menyerahkan ketiga pusaka tersebut kepada kakaknya.
Bremana lalu pamit serta minta restu kepada ayahnya. Lalu berangkat bersama istrinya. Anaknya diserahkan kepada Raden Bremani. Bremani berkata kepada ayahnya,”Ayah, tolonglah beri nama cucumu ini.”
Hyang Wisnu melihat cucunya kemudian memberi nama Bambang Parikenan. Setelah itu Hyang Wisnu pamit pulang ke Gunung Saptarengga
Dari perkawinannya dengan Prabu Bramana beberapa tahun kemudian Dewi Sri Unon melahirkan seorang putri cantik, Dewi Bremanawati, yang kemudian diperistri oleh Prabu Banjaranjali, raja Alengka
Bens
Wasis
Kecilamass Cibubur
Pasar Rebo
Jakarta-Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar